Indonesia menghadapi kompleksitas dalam penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan. Data menunjukkan bahwa dari sekitar 12.847 putusan perdata umum yang diunggah oleh Mahkamah Agung, 44% perkaranya adalah terkait sengketa pertanahan. Dalam lingkup sengketa tata usaha negara yang ditangani oleh Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, presentasi perkara pertanahan berkisar di angka 59,8%.
Masalah sengketa atas keputusan pengadilan antara lain adalah tidak diterimanya keputusan pengadilan oleh pihak yang bersengketa dan keputusan pengadilan yang tidak dapat dieksekusi karena status penguasaan dan pemiliknya sudah berubah. Perbedaan interpretasi antara peradilan umum, agama, dan tata usaha negara dalam menangani sengketa pertanahan menyebabkan proses penyelesaian menjadi tidak sederhana, tidak cepat, dan tidak murah.
Isu kerjasama pengembangan tanah kontroversial, konflik agraria, sengketa lahan, pembebasan lahan, pembangunan infrastruktur, relokasi penduduk, dampak lingkungan, peraturan pertanahan, advokasi komunitas, dan pengelolaan sumber daya alam menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam penyelesaian perkara pertanahan di Indonesia. Kita ambil sebagai bahan studi adalah kasus pembangunan di tanah bermasalah di sawangan yang telah melalui proses peradilan dan mencapai keputusan.
Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) merupakan penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan Negara untuk mengelola sumber daya alam, termasuk tanah, demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Berdasarkan tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi, negara memiliki wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Ini merupakan implementasi dari prinsip hak menguasai negara atas sumber daya alam yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Kewajiban Negara untuk Mengatur Kepemilikan Tanah
Untuk menjamin pemanfaatan dan penggunaan tanah secara optimal, Pemerintah wajib melakukan pendaftaran tanah sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan atas kepemilikan tanah bagi seluruh warga negara Indonesia, serta mendukung pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.
Sengketa Terkait Kepemilikan Tanah
Sengketa pertanahan dan konflik lahan merupakan isu yang kerap muncul di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dualisme hukum yang ada, antara hak ulayat, hak milik adat, dan hak negara, seringkali menjadi akar permasalahan yang sulit diselesaikan.
Kasus di Provinsi Jawa Barat
Di Provinsi Jawa Barat, salah satu kasus sengketa pertanahan yang menjadi sorotan adalah kasus di Desa Wates, Kabupaten Majalengka. Warga desa tersebut mengklaim lahan yang mereka tempati sebagai tanah adat, namun pihak Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) juga mengklaim lahan tersebut sebagai milik negara.
Kasus di Provinsi Jawa Tengah
Sementara itu, di Provinsi Jawa Tengah, kasus sengketa pertanahan juga terjadi di Desa Urut Sewu, Kabupaten Kebumen. Konflik pemilikan tanah terjadi antara Dinas Litbang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) Kebumen dengan warga masyarakat yang menggarap tanah.
Analisis Kronologi Sengketa
Konflik di Desa Urut Sewu berawal pada tahun 1982 saat Rezim Orde Baru meminta warga membebaskan lahan pertaniannya seluas 2 hektar untuk Kantor Dislitbang TNI AD. Dalam perjalanannya, TNI AD kemudian memperluas klaim area latihannya mulai dari 250 meter menjadi 750 meter dari bibir pantai, sehingga menimbulkan penolakan dari warga masyarakat.
Kerjasama Pengembangan Tanah Kontroversial
Dalam kasus sengketa pertanahan di Desa Urut Sewu, Kebumen, terdapat beberapa isu penting terkait dengan pembebasan lahan oleh pemerintah, penolakan warga atas rencana pembangunan, serta perbedaan persepsi dalam pemanfaatan lahan.
Pembebasan Lahan oleh Pemerintah
Warga Urut Sewu menolak rencana perluasan kawasan latihan militer oleh TNI Angkatan Darat di area tempat mereka tinggal dan menggarap lahan. Selain itu, warga juga tidak menyetujui pembangunan pabrik pengolahan biji besi oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang (PT MNC) yang akan didirikan di Urut Sewu.
Penolakan Warga atas Rencana Pembangunan
Selain penolakan terhadap rencana perluasan kawasan militer dan pembangunan pabrik, warga Urut Sewu juga menolak rencana pembangunan jalan lintas selatan. Pembangunan jalan ini akan mengakibatkan 55,87 kilometer lahan warga terancam digusur untuk kepentingan pembangunan infrastruktur.
Perbedaan Persepsi dalam Pemanfaatan Lahan
Konflik yang terjadi di Urut Sewu menggambarkan adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dan warga terkait dengan pemanfaatan lahan. Pemerintah memandang pembebasan lahan dan rencana pembangunan sebagai upaya untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, namun warga menolak karena khawatir akan kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka.
Faktor Penyebab Sengketa Pertanahan
Dalam kasus sengketa pertanahan di Urut Sewu, Kebumen, terdapat beberapa faktor penyebab yang mendasarinya. Salah satunya adalah ketidakjelasan status kepemilikan tanah antara warga masyarakat dan pihak TNI AD. Selain itu, perbedaan interpretasi terhadap bukti kepemilikan juga menjadi salah satu faktor yang menyulitkan penyelesaian sengketa ini.
Ketidakjelasan Status Kepemilikan Tanah
Warga Urut Sewu tidak memiliki bukti sah atas kepemilikan tanah yang mereka tempati, sementara pihak TNI AD juga tidak dapat menunjukkan legalitas kepemilikan tanah tersebut. Hal ini menimbulkan dualisme hukum yang semakin memperumit penyelesaian sengketa.
Perbedaan Interpretasi terhadap Bukti Kepemilikan
Selain itu, perbedaan interpretasi antara warga dan pihak TNI AD terkait bukti kepemilikan tanah juga menjadi faktor penyebab sengketa. Warga mengklaim tanah sengketa merupakan hak ulayat atau hak milik adat mereka, sementara TNI AD menganggap lahan tersebut sebagai tanah milik negara.
Kegagalan Mediasi antara Pihak-pihak Terkait
Upaya mediasi sengketa yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat juga belum berhasil mencapai kesepakatan antara warga dan pihak TNI AD. Hal ini memperlihatkan adanya dualisme hukum dan kesulitan dalam menemukan solusi yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
Upaya Penyelesaian Konflik
Dalam menangani sengketa pertanahan yang kompleks, pemerintah telah berupaya untuk memainkan peran aktif dalam menjembatani kepentingan berbagai pihak.
Pemerintah dalam menangani sengketa telah beberapa kali melaksanakan mediasi dengan mediator dari BPN (Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN setempat) untuk mempertemukan dan memfasilitasi dialog antara warga masyarakat dan pihak-pihak terkait, seperti TNI, dalam rangka mencari solusi terbaik melalui mediasi sengketa.
Inisiatif Masyarakat dalam Memperjuangkan Haknya
Di sisi lain, masyarakat juga telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah yang telah lama mereka tempati dan kelola. Masyarakat telah melakukan aksi-aksi protes dan demonstrasi untuk menuntut penyelesaian sengketa secara adil dan transparan, serta menolak rencana-rencana pembangunan yang dianggap merugikan kepentingan warga.
Upaya penyelesaian sengketa yang melibatkan peran aktif pemerintah dan inisiatif masyarakat diharapkan dapat menghasilkan solusi yang komprehensif dan berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat, sehingga dapat menjadi contoh bagi penyelesaian sengketa pertanahan lainnya di Indonesia.
Dampak Sengketa bagi Masyarakat
Sengketa pertanahan yang berkepanjangan telah menimbulkan dampak signifikan bagi masyarakat yang terlibat. Salah satunya adalah ketidakpastian hukum yang dihadapi warga Desa Wates. Posisi mereka menjadi lemah karena lahan yang mereka tempati hanya berstatus hak guna pakai, sehingga mereka merasa tidak nyaman dan khawatir sewaktu-waktu tanahnya dapat diambil alih untuk kepentingan militer atau pembangunan infrastruktur.
Ketidakpastian Hukum dan Keresahan Sosial
Warga Desa Wates merasa masih “dijajah” karena konflik agraria dengan TNI AU yang belum terselesaikan sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Situasi ini telah menimbulkan keresahan sosial di antara masyarakat, di mana mereka merasa hak atas tanah yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun tidak mendapatkan kepastian hukum yang jelas.
Gangguan Kegiatan Ekonomi
Selain itu, gangguan ekonomi juga dirasakan oleh masyarakat akibat sengketa pertanahan ini. Kekhawatiran warga Wates terbukti beralasan, karena dalam Peraturan Bupati Majalengka Nomor 6 Tahun 2023, tiga kecamatan yang berkonflik dengan TNI AU akan terkena dampak pembangunan daerah yang dapat mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat setempat.
Ancaman Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Lebih jauh lagi, ancaman keamanan dan ketertiban masyarakat juga menjadi perhatian, mengingat potensi eskalasi konflik yang dapat terjadi akibat kebuntuan penyelesaian sengketa pertanahan ini. Situasi yang tidak menentu dapat memicu gejolak sosial dan mengancam stabilitas di wilayah yang bersengketa.
Prospek Penyelesaian Sengketa
Untuk menciptakan penegakan hukum yang adil dan berkeadilan di Indonesia, diperlukan adanya pilar-pilar penegak hukum yang adil dan benar, penegak hukum yang bermartabat, profesional, berintegritas, serta terciptanya lingkungan sosial yang kondusif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan lahan dan inventarisasi aset agar status kepemilikan dan penguasaan tanah menjadi jelas.
Pemetaan Lahan dan Inventarisasi Aset
Pemetaan lahan dan inventarisasi aset merupakan langkah awal yang penting dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Dengan mengetahui status kepemilikan dan penguasaan tanah secara jelas, diharapkan dapat meminimalisir potensi konflik di kemudian hari.
Dialog dan Negosiasi Pihak Terkait
Setelah melakukan pemetaan dan inventarisasi, langkah selanjutnya adalah melakukan dialog dan negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa. Hal ini bertujuan untuk mencari solusi terbaik bagi semua pihak dan menciptakan kesepakatan yang adil.
Penyusunan Kebijakan Terpadu
Untuk menyelesaikan sengketa pertanahan secara komprehensif, diperlukan penyusunan kebijakan terpadu yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kebijakan ini harus dapat menjamin kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan bagi seluruh pihak yang terlibat.
Peran Lembaga Adat dan Tokoh Masyarakat
Dalam menyelesaikan sengketa pertanahan, peran lembaga adat dan tokoh masyarakat menjadi penting. Sebagai penjaga kearifan lokal dan tradisi leluhur, mereka dapat menjembatani perbedaan persepsi antara masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Menjaga Kearifan Lokal dan Tradisi Leluhur
Lembaga adat seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) memiliki peran strategis dalam mempertahankan hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam. Mereka dapat mengungkapkan sejarah penguasaan tanah secara turun-temurun dan memperjuangkan pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat.
Membangun Kesadartungan dan Solidaritas Warga
Tokoh-tokoh masyarakat yang disegani, seperti Kepala Desa, Ketua RT/RW, dan pemuka agama, dapat menjadi pemersatu warga dalam menghadapi ancaman terhadap hak-hak mereka atas tanah. Melalui peran mereka, kesadaran dan solidaritas warga untuk memperjuangkan haknya dapat terus terjaga dan diperkuat.
FAQ
Apa kompleksitas penyelesaian perkara pertanahan di Indonesia?
Kompleksitas penyelesaian perkara pertanahan berhadapan dengan jumlah penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang cukup besar. Dari sekitar 12.847 putusan perdata umum yang diunggah oleh Mahkamah Agung, tercatat 44% perkaranya adalah tergolong dalam jenis sengketa pertanahan. Dalam lingkup sengketa tata usaha negara yang ditangani oleh Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, presentasi perkara pertanahan berkisar di angka 59,8%. Masalah sengketa atas keputusan pengadilan antara lain adalah tidak diterimanya keputusan pengadilan oleh pihak yang bersengketa dan keputusan pengadilan yang tidak dapat dieksekusi karena status penguasaan dan pemiliknya sudah berubah.
Apa dasar hukum pengelolaan sumber daya alam oleh negara?
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan Negara mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi, negara memiliki wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
Bagaimana konflik pemilikan tanah yang terjadi di Desa Urut Sewu, Kebumen?
Salah satu permasalahan yang mencuat di Desa Urut Sewu, Kebumen adalah konflik pemilikan tanah antara Dinas Litbang TNI Angkatan Darat Kebumen dengan warga masyarakat yang menggarap tanah. Konflik ini berawal sejak 1982 saat Rezim Orde Baru meminta warga membebaskan lahan pertaniannya seluas 2 hektar untuk Kantor Dislitbang TNI AD. Dalam perjalanannya, TNI AD memperluas klaim area latihannya mulai 250 meter menjadi 750 meter dari bibir pantai, sehingga menimbulkan penolakan warga.
Apa saja tuntutan warga Desa Urut Sewu terhadap rencana pembangunan?
Warga Urut Sewu menolak rencana perluasan kawasan latihan militer dan tidak menyetujui pembangunan pabrik pengolahan biji besi oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang (PT MNC) di Urut Sewu. Warga juga menolak rencana pembangunan jalan lintas selatan yang mengakibatkan 55,87 kilometer lahan warga terancam digusur.
Apa faktor penyebab sengketa di Desa Urut Sewu?
Faktor penyebab sengketa di Urut Sewu adalah TNI kurang memperhatikan tertib administrasi pemilikan tanah, tanah sengketa sebelumnya merupakan tanah marginal tidak memiliki produktivitas tinggi, dan implikasi peningkatan kesadaran masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Warga tidak memiliki bukti sah atas kepemilikan tanah, sementara TNI AD juga tidak memiliki legalitas kepemilikan.
Bagaimana posisi warga Desa Wates dalam sengketa pertanahan?
Posisi warga Desa Wates lemah karena lahan yang mereka tempati hanya berstatus hak guna pakai, sehingga mereka merasa tidak nyaman dan khawatir sewaktu-waktu tanahnya dapat diambil alih untuk kepentingan militer atau pembangunan. Warga merasa masih “dijajah” karena konflik agraria dengan TNI AU yang belum terselesaikan sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kekhawatiran warga Wates tersebut beralasan, karena dalam Peraturan Bupati Majalengka Nomor 6 Tahun 2023, tiga kecamatan yang berkonflik dengan TNI AU akan terkena dampak pembangunan daerah.
Apa upaya yang diperlukan untuk menciptakan penegakan hukum yang adil di bidang pertanahan?
Untuk menciptakan penegakan hukum yang adil dan berkeadilan di Indonesia, diperlukan adanya pilar-pilar penegak hukum yang adil dan benar, penegak hukum yang bermartabat, profesional, berintegritas, serta terciptanya lingkungan sosial yang kondusif. Perlu dibentuk peradilan pertanahan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa terkait kasus pertanahan, yang bertugas tidak hanya memeriksa buku-buku formal tetapi juga kebenaran materiil dengan memahami asas-asas penguasaan dan kepemilikan tanah. Penyempurnaan sistem kamar dalam penyelesaian perkara atau sengketa pertanahan juga diperlukan.
0 Komentar