kalau sudah tua, di usia senja, diambang kematian setiap manusia akan dipaksa untuk bertabrakan dengan kenyataan hidup bahwa yang ia cari adalah yang sejati.
siapapun ia, apapun status sosialnya, tinggi atau rendah pangkatnya, gagah atau tidak eksistensi budayanya, sehebat apapun profesi dan reputasinya, semua akan dipaksa masuk dan berpikir untuk memilah antara yang sejati dan yang palsu
yang palsu terpaksa ditinggalkan didunia karena para penggusung keranda kematiannya tidak bersedia mengangkut berton-ton kepalsuan yang dihimpun oleh almarhum sepanjang hidupnya, dihimpun dengan segala macam cara, dengan kerja keras, dengan monopoli, dengan maling otoritas, dengan ndompleng kekuasaan dengan merampok milik tetangganya yang berpuluh-puluh juta jumlahnya
yang sejati akan ia bawa ke alam sejati. tidak melaui lubang kubur, sebab kuburan hanya persinggahan dimana biologi manusia pupus. “diri sejati” manusia tetap menemani biologinya hingga sirna total, namun ia bersiap meneruskan perjalanan berikutnya ke terminal-terminal keabadian
proses pemilahan antara yang sejati dengan yang palsu itu mirip dengan transformasi hakekat makanan dari luar mulut sampai ke sel-sel darah. ketika seseorang hendak makan, yang dipersiapkan adalah pecel, gethuk, semangka dan wedang. tapi nanti usus memeras semua jenis makanan itu sehingga kehilangan “status budayanya” sebagai pecel dan gethuk untuk menjadi saripati, menjadi esensi, menjadi unsur paling inti
perubahan dari gethuk menjadi unsur inti itu paralel dengan perubahan dari primordialitas ke universalitas. dari bentukan ke kristal, dari syariat ke hakekat, dari idiom budaya ke ruh, dari “manusia” ke “tuhan”, dari makhluk ke khalik.
tapi apakah gerangan yang palsu dan apakah yang sejati? seberapa jauh kapasitas akal dan indera atau meta-akal dan meta-indra kita mungkin memahaminya, atau sekurang-kurangnya mencoba merumuskannya?
kesetiaan dan den dengan demikian juga kepalsuan adalah bulatan dan sudut-sudut titiknya tak terhingga. tapi barangkali kita bisa mencicipi sejumlah sudut.
yang sejati adalah yang bersungguh-sungguh dan yang palsu adalah yang seakan-akan
kita bisa ambil “rumus dasar”-nya: kesejatian dan kepalsuan dalam atau secara waktu, serta kesejatian dan kepalsuan dalam atau secara ruang
salah satu indikator kesejatian secara waktu adalah keabadian. maka indikator kepalsuan tentu adalah kesementaraan. oleh karena itu yang tak pernah berubah pada kehidupan sehari-hari setiap manusia dan semua masyarakat , kapanpun dan dimanapun adalah kecenderungannya yang mencari, membuat dan menyelenggarakan sesuatu yang awet, yang langgeng
oleh karena itu pula standart kualifikasi karya kesenian, adalah ujian lintas waktu. lukisan, lagu, puisi, selalu berhadapan dengan pertanyaan, “apakah langgeng atau tidak, apakah ia hanya berumur beberapa bulan/tahun, melampaui usia penciptanya?”. puncak segala penilaian tentang karya seni selalu bermuara pada pertanyaan, “apakah ia karya abadi atau bukan?”.
ketika orang mengenggam sesuatu yang jelas bersifat amat sementara. misalnya arloji, cincin emas atau perak, ia tetap saja berorientasi agar barang itu bisa tetap ada di genggamannya selama mungkin. kalau anda diberi jatah berumur 200 tahun, anda akan senang sekali, hidup seribu tahun lagi pun juga mau. pemimpin ingin menjadi pemimpin kalau bisa seumur hidup, para bintang film ingin tetap laku sampa usia tua. soal apa saja, oleh manusia senantiasa selalu diarahkan oleh manusia untuk itu sendiri untuk memiliki kecenderungan ke keabadian.
sayang sekali, sudah jelas-jelas bahwa yang dicari oleh manusia adalah keabadian, tapi mereka selalu lebih berpihak kepada barangnya dibanding pada keabadiannya. bermilyar-milyar manusia memilih berjalan memanggul barang-barang yang tidak abadi dipundaknya, maunya mereka mengangkat itu semua ke jalanan keabadian. padahal jangankan barang-barang, kekayaan dan pangkat, sedangkan tubuhnya sendiri tak kuat untuk mengikuti perjalanan manusia menuju keabadian
kesejatian dan kepalsuan dalam dan secara ruang, atau indikatornya tertemukan dalam ruang. barangkali bisa kita pilah melaluli lapis budaya, lapis psycho dan lapis ruh.
benda-benda, barang-barang, materi, fisik yang merupakan lebih dari 75% penghuni kehidupan dan kesadaran manusia adalah contoh soal paling elementer dari kesementaraan. artinya ia sangat indikatif terhadap kepalsuan
sub lapis budaya yang lain adalah posisi dan format kultur dimana manusia meletakkan dan mengeksistensikan diri. misalnya jabatan, status sosial, kasta, pangkat, profesi dan lain-lain. ini juga sangat indikatif terhadap kesementaraan dan kepalsuan. artinya lapis dan sub lapis ini hanya “pakaian” yang berakhir amoh, hanya “sandiwara” yang pasti tiba pada ending. kalau manusia memusatkan dan menumpahkan diri pada lapis dan sub lapis ini maka ia harus siap amoh dan ended. dan ketika itu terjadi, maka ia akan menjadi tau bahwa itu adalah palsu dan sementara
lapisan berikutnya adalah psike, indikasinya terhadapa kesementaraan dan kepalsuan juga tidak kecil. kalau seseorang punya kehendak membeli sesuatu di sebuah toko, sama sekali tidak bisa dijamin itu adalah kehendak orisinal dirinya. lebih mungkin mereka melakukan itu sebagai efek belaka dari kehendak besar yang mengurung, menjebak dan mengendalikan mereka. kehendak besar itu mungkin sebuah sistem, kehendak para industriawan, pemilik modal, kapital, iklan, pengaruh kebudayaan yang direkayasa. oleh karena itu, hakekatnya palsu
kalau seseorang ingin menjadi insiyur, dokter, penyair, kepala negara, ketua organisasi, besar kemungkinannya itu bukan kehendak orisinal dirinya sendiri, melainkan pembentukan proses budaya-budaya dari luar dirinya. mungkin memang ada semacam naluri atau bakat sebagai saham utama kehendak-kehendak itu, tapi pada zaman dan sistem dimana otoritas kepribadian manusia amat tunduk dibawah kemauan-kemauan sistem besar, sangat gampang di duga bahwa kapasitas kepalsuan dalam kehendak mereka juga tidak kecil
orang bercita-cita, berangkat dari jalan protokol, menjadi ini itu, membeli ini itu berada dalam kedudukan sebagai “bangkai”. artinya bukan bukan “diri”nya yang sesungguhnya menggerakannya
“diri sejati” terletak pada lapisan yang jauh lebih dalam dan besar kemungkinan kebanyakan manusia sendiri tak mengenalnya. kurikulum pendidikan tak pernah mengajarkannya, para pemimpin agama juga hanya membariskan umatnya dalam syariat, tidak memasuki hakekat sehingga pengenalan manusia terhadap diri sejatinya sendiri sangat tidak bisa dijamin. ilmu pengetahuan hanya secara samar-samar menyebut unsur seperti jiwa, sukma, ruh, dan lain sebagainya. unsur-unsur itu merupakan “manifestasi Allah”, semacam dzatullah atau “tiupan ruh” (-Nya sendiri) yang pasti dan mutlak bersifat abadi dan sejati. dalam perjalanan kebudayaan dan peradaban umat manusia, unsur-unsur sejati itu terbungkus dan tersembunyi dibalik lubuk kesadaran manusia sendiri. namun ada saat-saat dimana mereka mengaktualisasikan dirinya
kenapa pada era tertentu masyarakat menunjukkan konversi dari sekularitas ke religiusitas, dari kekeringan rohani ke gejala-gejala keilahian melalui pengkajian, tema film, sastra atau tema budaya lainnya? itu adalah saat dimana sukma, jiwa dan ruh “memberontak” karena sudah lama tidak diberi “makan” oleh manusia penyandangnya
manusia bersembahyang, berpuasa, beribadah, berbuat baik, memperjuangkan keadilan, kesederajatan, menyelenggarakan cinta, dll itu semua merupakan “makanan” bagi dzatullah yang antara lain menempatkan diri dalam jiwa manusia sendiri. maka tak heran kalau pada banyak era sejarah manusia seringkali terdapat gejala rohaniah yang sebenarnya sama sekali bertentangan dengan rekayasa politik peradaban mereka sendiri
kepalsuan berumur pendek. kepalsuan selalu ingin memiliki materi, benda, barang selama-lamanya maka hanya berganti dari kepalsuan ke kepalsuan berikutnya. tapi karena keabadian itu abadi, ia akan senantiasa menanggapinya dan di ujung-ujungnya akan menunjukkan otoritas mutlak dan abadinya
wanita-wanita memakai make-up, menjalankan operasi plastik, membesarkan payudara, menghaluskan kulit, memudakan tua, menipu masyarakat dengan segala jenis model pakaiannya. itu adalah kepalsuan sehari-hari disekitar kita
perilaku sosial politik, budaya, hukum atau keseharian merupakan tempat dimana manusia mementaskan kepalsuan-kepalsuan dan kesementaraan dan kesementaraan. dunia politik misalnya adalah jenis lain dari budaya kosmetika yang dipercanggih dengan ketinggian retorika, diplomasi dan “keharusan untuk munafik”. dunia industri informasi adalah jenis kepalsuan yang lain , yang juga canggih karena “yang dituhankan” adalah hukum pasar,man makes new, gosip dan isu, manipulasi media koran, televisi, radio dll
betapa tragisnya kalau kita bersikap “polos” dalam melihat itu semua. tiap hari mata kita dididik untuk lebih banyak bergaul dengan kepalsuan.tiap saat telinga kita dibiasakan untuk lebih banyak mendengarkan kesementaraan. tiap saat kesadaran kita, indera kita, hati kita ditradisikan untuk lebih banyak berurusan dengan hal yang tidak sejati
kita tidak terlatih untuk jernih dan hampir semua bangunan budaya kita adalah bagunan ketidakjernihan (apakah seorang bupati pasti orang nomer 1 sekabupaten? apakah seorang ketua selalu bisa dipercaya? apakah penyanyi terkenal selalu berbakat nyanyi?)
maka kita cenderung jengkel, marah dan merasa terganggu oleh ungkapan-ungkapan kejernihan
pantas setiap hari kita harus berkali-kali melakukan wudhu dan sholat untuk menjernihkan dan menyejatikan diri kembali, segala sesuatu yang diawali dengan cinta pasti tidak menemukan garis finish karena cinta itu abadi. jika tidak maka itu bukan cinta, melainkan nafsu yang telah meracuni jiwa kita melalui budaya-budaya yang telah dimanipluasi
cepat atau lambat kalian, kau, kamu, anda, sampeyan, njenegan semuanya pasti akan melupakan aku setelah menemukan kebahagiaan yang lebih dari sekarang yang kalian, kau, kamu, anda, sampeyan, njenegan semuanya rasakan saat ini. karena aku bukan sejati atau keabadian. aku hanyalah aku yang selalu menjadi sampah yang terbuang
0 Komentar